LEGAAAA.....
Itu yang dirasakan pertama kali merasakan bebas, keluar dari lingkaran toxic. Dimana selalu disalahkan, selalu harus kuat, selalu harus terlihat gembira, tidak pernah diajak diskusi dan wajib selalu menurut dengan segala alasan. Hati ini selalu dibuat was was dan khawatir.
Tetapi, ternyata tidak semudah itu menghilangkan luka toxic. Menjadi takut melangkah, terlalu banyak pertimbangan, selalu khawatir, selalu merasa apa yang terjadi karena karma, menyalahkan diri sendiri dan tidak bisa berfikir maju. Perlu healing waktu yang lama untuk menghilangkan luka ini, walau masih terbawa sampai sudah berkeluarga.
Iya, tidak bagus memiliki ibu yang masih punya luka pengasuhan, belum bisa move on. Kalau memaafkan memang memaafkan, kalau silaturahmi dan menjalankan kewajiban iya tetap, tetapi rasa dalam hati ini, ketakutan ini, kegelisahan ini tetap selalu ada. Overthinking ini juga. Mau menyalahkan juga buat apa. Tidak akan pernah bisa merubah keadaan.
keluar kota, tinggal yang jauh disana memang pilihan bijak. Bahagia, damai rasanya. Walau terkadang senyum terpampang, tetapi luka dalam hati terkadang datang. Mendengar suara saja sudah parno duluan. Rasa hati pingin diruqyah aja, pingin tes ini itu, ke psikolog karena menyalahkan diri sendiri, tetapi lepas dari bekas lingkaran toxic sungguh sangat berat.
Anak - anak adalah semangat utama. Bekerja juga menghilangkan sementara, tetapi tidak menyelesaikan masalah. Kalau dibiarkan, fisik ini bisa lelah juga dan itu tidak baik. Tahu semua konsekuensi ini, tetapi memang susah melepas bekas lingkaran toxic ini.
Time will heal, tetapi kapan waktu itu datang saat healing, tidak tahu. Kurang iman, kurang doa, kurang ihtiyar, terlalu lebay dan baper, itu yang selalu terngiang2. Seakan walau tidak ada yang menunjuk kesalahan, kesalahan itu terbayang. Padahal juga tidak ada yang berkata begitu. Semua karena luka lingkungan toxic. Semakin kita sakit, tidak memaafkan, tidak melepaskan, akan semakin lama kita pulih dan semakin lama dosa orang yang membuat kita dalam lingkungan toxic.
Rasanya ingin teriak didepan orang toxic itu dan berkata semua karenamu, tetapi tidak akan merubah apa2. Bahkan, belum apa2 juga akan nangis sampai nafas sesak duluan. Begitulah hidup, maunya apa coba.
Efek pandemi juga membuat interaksi tatap muka menjadi minim, hal ini juga membuat healing lebih lama. Rasa ingin berbagi ke orang lain dan mendengar keluh kesah orang lain juga khawatir. Khawatir kalau kita membawa virus ke orang lain. Overthinking udah jadi makanan sehari2. Entah sampai kapan. Harus dilawan, harus move on. HARUS. Jangan biarkan orang toxic itu menang dan tertawa karena kamu kalah.
0 komentar:
Posting Komentar